Kita sudah memaklumi bahwa doa adalah permohonan hamba kepada Allah. Doa merupakan ibadah yg diperintahkan langsung oleh Allah kepada seluruh umat Islam. Saking kuatnya perintah berdoa, maka orang yg sengaja tidak mau berdoa kepada Allah pantas disandangkan baginya gelar orang sombong.
Allah SWT berfirman dalam QS Al Mukmin ayat 60:
Artinya:
Dan Tuhanmu berfirman, "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau menyembah-Ku mereka akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina." (Al Mu'min, 60)
Aisyah radhiallahu ‘anha berkata:
“Mintalah kepada Allah bahkan meminta tali sendal sekalipun”.
(HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman 2/42)
Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan:
“Dahulu para salaf meminta kepada Allah dalam shalatnya, semua kebutuhannya sampai-sampai garam untuk adonannya dan tali kekang untuk kambingnya”.
Terkait dengan berdoa, ada pula doa secara simbolik atau yg disebut juga dgn ad-du’a' bil-isyaroh (doa dengan isyarat) atau istilah dari Al-Hafizh Ibn Hajar Al-‘Atsqalani dan Abu Al-Hasan Al-Mubarakfuri yaitu ad-du’a' bir-rumuz (berdoa dgn simbol).
Artinya: Suatu kali, Nabi Saw keluar untuk melaksanakan salat (istisqa). Ketika beliau hendak berdoa (meminta hujan), beliau menghadap ke arah kiblat sambil memutar selendangnya. (H.R. Al-Bukhari).
Hadis tersebut mempunyai redaksi yang beragam namun memiliki kandungan yg sama. Intinya adalah bahwa maksud Nabi SAW ketika memutar bagian atas selendangnya ke arah bawah dan bagian bawah diputar ke arah atas, juga dgn selendang bagian kiri ke kanan dan bagian kanan ke kiri merupakan simbol atau isyarat agar keadaan berubah dari musim kemarau menjadi musim hujan.
Maksud lain dari perbuatan Nabi yg semacam itu adalah doa kepada Allah agar dikabulkan suatu permohonan, hanya saja cara berdoa beliau dengan menggunakan isyarat/simbol berupa membolak-balikan selendang.
Begitu juga dengan sebuah hadis sahih yg diriwayatkan oleh Imam Ahmad Bin Hambal, bersumber dari Khallad Bin As-Saib Al-Anshari berkata:
Artinya:
Nabi Muhammad SAW ketika berdoa meminta kebaikan, beliau berdoa dengan telapak tangannya. Namun jika berdoa supaya terhindar dari keburukan, beliau berdoa dengan punggung tangannya. (H.R. Ahmad ibn Hambal).
Sebagaimana hadis sebelumnya, hadis ini juga mengandung maksud berdoa dgn simbol/isyarat. Dalam hadis ini ditegaskan bahwa ketika berdoa meminta kebaikan, Nabi menggunakan telapak tangannya. Namun ketika berdoa meminta perlindungan dari keburukan beliau menggunakan punggung tangannya.
Ini menjelaskan bahwa mengangkat tangan sewaktu berdoa hanyalah sebatas simbol/isyarat semata, dgn tujuan memohon agar apa yg diinginkan di hati, diucapkan di lisan, juga disimbolkan oleh anggota tubuh. Tidak mustahil dengan simbol tersebut, doa yg dipanjatkan akan membangkitkan rasa khusyuk karena akan semakin dijiwai, dgn harapan lebih cepat diterima oleh Allah SWT. Inilah yg sering dipraktekkan aktor aktris di saat memerankan sandiwaranya. Haruskah para pendoa meninggalkan action ini?
Sedangkan dalil lain tentang berdoa pakai simbol isyarat adalah sebuah riwayat yg juga bersumber dari Imam Al-Bukhari di mana beliau menceritakan kisah Abu Hurairah yg mengadukan kelemahan hafalannya kepada Nabi SAW, lalu Nabi mendoakannya dgn perantara simbol sebagai berikut:
Artinya:
Abu Hurairah bercerita, ”Saya berkata kepada Rasulullah: Wahai Rasulallah, saya sering mendengarkan hadits engkau, tapi sayang banyak yang saya lupa”. Lalu Rasulullah menjawab, “Bentangkan sorbanmu!”. Saya pun membentangkannya. Lalu Rasul menggulungnya dengan kedua tangan beliau. Kemudian beliau berkata lagi, “Kumpulkan!”, saya pun mengumpulkannya. Setelah peristiwa tersebut saya tidak pernah lupa (terhadap apa yang beliau sampaikan). (H.R. Al-Bukhari)
Abu Hurairah di hadapan Nabi SAW adalah sebagai sahabat sekaligus santri beliau. Ia sangat tekun menghadiri pengajian Nabi. Hampir tak ada waktu terlewatkan, kecuali ia mengikuti pengajian Nabi.
Artinya:
“Rasulullah pernah menegaskan dalam suatu hadits yg beliau sabdakan, ‘Orang yang menggelar pakaiannya sampai aku selesai menyampaikan pengajianku ini kemudian ia ikat pakaiannya itu, pasti tidak akan lupa terhadap apa yang aku katakan.” Mendengar hal itu, Aku langsung menggelar selimutku sampai akhir pengajian Nabi. Ketika berakhir, aku pun segera melekatkannya di dadaku. Sejak itu, aku tak pernah lupa hadis Nabi sedikitpun.” (HR. Al-Bukhari).
Dalil lainnya tentang doa simbolik/isyarat sebagaimana berikut:
Artinya;
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati dua buah kuburan. Lalu Beliau bersabda,”Sungguh keduanya sedang disiksa. Mereka disiksa bukan karena perkara besar (dalam pandangan keduanya). Salah satu dari dua orang ini, (semasa hidupnya) tidak menjaga diri dari kencing. Sedangkan yang satunya lagi, dia keliling menebar namiimah.” Kemudian Beliau mengambil pelepah basah. Beliau belah menjadi dua, lalu Beliau tancapkan di atas masing-masing kubur satu potong. Para sahabat bertanya,”Wahai, Rasulullah. Mengapa Rasul melakukan ini?” Beliau menjawab,”Semoga mereka diringankan siksaannya, selama keduanya belum kering.”
Akan tetapi, perlu digarisbawahi juga bahwa tidak semua tradisi bisa dianggap sebagai doa simbolik. Sekurang-kurangnya ada dua syarat mutlak yg harus dipenuhi agar sebuah tradisi dapat dianggap sebagai doa simbolik;
Pertama, tradisi atau amal perbuatan tersebut mengandung maksud doa dan harapan kebaikan dari Allah SWT.
Kedua, tidak ada unsur-unsur yg bertentangan dgn kaidah-kaidah syariat agama Islam seperti menyekutukan Allah, meyakini bahwa ada benda atau media tertentu selain Allah, yg diyakini bisa mendatangkan manfaat atau menangkal mudharat, menyembelih dgn menyebut nama selain Allah, dan semacamnya. Selama kedua unsur tersebut terpenuhi, maka ia pantas dianggap sebagai doa simbolik atau isyarat.
Karena sejatinya, yang bisa memberi manfaat dan menghindarkan madharat hanyalah Allah saja, sebagaimana dalam firman-Nya berikut ini:
Artinya:
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Niscaya mereka menjawab: “Allah”. Katakanlah: “Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya?” Katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku”. Kepada-Nyalah bertawakkal orang-orang yang berserah diri”. [QS. az-Zumar, 39: 38]