Kategori: Khutbah Jumat:
Judul: Mewaspadai Bahaya Teguran Bencana Tak Kasat Mata
Durasi: 7 + 3 menit
Khutbah I
الْحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ، وَبِفَضْلِهِ تَتَنَزَّلُ الْخَيْرَاتُ وَالْبَرَكَاتُ، وَبِتَوْفِيْقِهِ تَتَحَقَّقُ الْمَقَاصِدُ وَالْغَايَاتُ. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لَانَبِيَّ بَعْدَهُ. اللهم صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ المُجَاهِدِيْنَ الطَّاهِرِيْنَ. أَمَّا بَعْدُ، فَيَا آيُّهَا الحَاضِرُوْنَ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ، وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى
فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ: الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
Jamaah shalat Jumat rahimakumullah,
Ada pernyataan ilmiah bahwa bencana alam merupakan sebuah gejala alami biasa. Ia bisa ditelusuri sebab-sebabnya secara konkret sehingga gempa bumi, tsunami, banjir, wabah penyakit, atau bencana semacamnya dinyatakan resmi sebagai gejala alam. Namun, banyak pula ayat Al-Qur’an dan hadits yang menggambarkan bahwa bancana atau musibah menjadi salah satu cara Allah memberikan teguran maupun azab.
Allah SWT Ta’ala berfirman,
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syura: 30).
Jamaah shalat Jumat rahimakumullah,
Lantas bagaimana kita seharusnya bersikap? Sebelum lebih jauh kita berfikir tentang ini, seyogiannya kita menempatkan diri dulu secara proporsional. Dimana sikap yang harus diperuntukkan kepada orang lain dan dimana pula sikap yang harus diperuntukkan kepada diri sendiri. Kepada orang lain, kita tidak mempunyai wewenang untuk serta-merta memvonis bahwa mereka yang menjadi korban bencana atau terdampak musibah adalah orang-orang yang sedang kena teguran ataupun azab dari Allah. Karena mengeluarkan vonis semacam ini bisa jadi merupakan keangkuhan dari diri kita sendiri, karena kita tidak mempunyai bukti apa pun yang bisa menunjukkan bahwa bencana tersebut merupakan azab Allah.
Kita bisa mengetahui bencana yang telah menimpa kaum Nabi Nuh, misalnya, adalah termasuk sebuah azab itu karena ada dalil yang menerangkannya berupa ayat Al Qur’an. Sedangkan di zaman yang tak ada lagi rasul syar’i seperti sekarang ini, dimana ayat Al Qur’an tidak diturunkan lagi, maka kita dituntut mencari jawaban konkret atas bencana yang sedang terjadi melalui nash yang sudah ada. Sementara di ayat lain dijelaskan bahwa setiap orang beriman pasti akan diuji.
Allah. SWT berfirman:
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوْا أَنْ يَقُوْلُوْا آَمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُوْنَ
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (begitu saja) mengatakan, ‘Kami telah beriman.’ sedang mereka tidak diuji lagi?” (Al-‘Ankabut, 2).
Jamaah shalat Jumat rahimakumullah,
Dari keterangan dua ayat di atas maka musibah yg menimpa seseorang atau bencana yang menimpa suatu kaum bisa dimungkinkan sebagai teguran atau azab, atau mungkin sebagai ujian atas keimanan sesorang ataupun kaum tertentu. Bahkan Rasulullah SAW memberikan kemungkinan ketiga yaitu bahwa kesedihan apapun yang menimpa orang Islam adalah sebagai penebus dosa-dosa, sebagaimana hadits berikut ini:
Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاه
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah seorang muslim itu ditimpa musibah baik berupa rasa lelah, rasa sakit, rasa khawatir, rasa sedih, gangguan atau rasa gelisah, sampai duri yang melukainya melainkan dengan itu Allah akan mengampuni dosa-dosanya” (HR. Al-Bukhari, no. 5641 dan HR. Muslim, no. 2573).
Jamaah shalat Jumat rahimakumullah,
Lebih jauh, Rasulullah SAW memberikan gambaran bahwa seseorang atau suatu kaum yang tidak sama sekali ditimpai musibah atau bencana sedikitpun, padahal perbuatan mereka jelas-jelas menyimpang dari ketentuan ajaran syariat yang telah ditetapkan, itu ternyata merupakan bencana tak kasat mata yang bobotnya lebih berbahaya daripada bencana yang nyata. Bencana semacam ini dikenal dgn istidraj, suatu bencana yg harus diwaspadai. Kemungkinan keempat ini bisa terjadi kepada siapa saja yg tak jelas-jelas ditimpai musibah atau bencana apapun padahal Allah sedang murka kepada mereka.
Dalam hal ini, Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ تَعَالى يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا مَا يُحِبُّ وَهُوَ مُقِيمٌ عَلَى مَعَاصِيهِ فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِنْهُ اسْتِدْرَاجٌ”، ثُمَّ تَلَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: [فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ] . (رواه أحمد)
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir ra, Rasulullah saw bersabda: “Bila kamu melihat Allah memberi pada hamba (perkara) dunia yang diinginkannya, padahal dia terus berada dalam kemaksiatan kepada-Nya, maka (ketahuilah) bahwa hal itu adalah istidraj (jebakan berupa nikmat yang disegerakan) dari Allah.” Kemudian Rasulullah saw membaca ayat yang berbunyi, “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa (Qs Al-An’am: 44).” (HR. Ahmad)
Jamaah shalat Jumat rahimakumullah,
Dengan demikian maka sulit dipastikan apakah suatu musibah atau bencana benar-benar azab atau bukan. Jangan-jangan sejumlah korban meninggal dunia akibat musibah atau bencana alam itu wafat dalam kondisi lebih baik dan lebih terhormat dibandingkan diri kita karena dosa-dosa mereka sudah diampuni, atau kemungkinan lainnya. Dalam konteks seperti ini, yang paling tepat adalah mengembalikan status bencana kepada Allah ﷻ, menganggap musibah yang terjadi pada orang lain sebagai pelajaran dalam muhasabah, mengedepankan koreksi diri daripada mengoreksi orang lain, cermat menilai sesuatu berdasarkan pertimbangan pemikiran yg sesuai nash alqur’ani atau hadits nabawi, dan senantiasa berupaya mengambil hikmah dari setiap kejadian demi mencapai kualitas keimanan dan ketaatan yang lebih baik, dalam rangka mencapai kategori al muttaqin di sisi Allah SWT.
Alhasil, semoga kita
bisa menyikapi setiap musibah dan bencana yg terjadi secara proporsional dan
penuh kearifan serta bisa menjadikannya jalan peningkatan derajat keimanan
kita, khususnya rukun iman yg ke enam. Aaamiiin.
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
Artinya: “(Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: ‘Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji'ûn’ (sesungguhnya kita semua milik Allah dan kepada Allah pula kita semua kembali).” (Al-Baqarah, 156).
بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ الْأٰيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم