Berbagi: khutbah, dalil, hukum, amalan, sosial, agama

yuqm.blogspot.com

  • Welcom to menu 1

    Selamat datang di blog kami. Semoga Anda mendapatkan sesuatu yang berarti.

  • Welcom to menu 2

    Selamat datang di blog kami. Semoga Anda mendapatkan sesuatu yang berarti.

  • Welcome to Menu 3

    Selamat datang di blog kami. Semoga Anda mendapatkan sesuatu yang berarti.

Thursday, July 29, 2021

Khutbah Jumat- Mewaspadai Bahaya Teguran Bencana Tak Kasat Mata

Kategori: Khutbah Jumat:

Judul: Mewaspadai Bahaya Teguran Bencana Tak Kasat Mata

Durasi: 7 + 3 menit 


Khutbah I

     الْحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ، وَبِفَضْلِهِ تَتَنَزَّلُ الْخَيْرَاتُ وَالْبَرَكَاتُ، وَبِتَوْفِيْقِهِ تَتَحَقَّقُ الْمَقَاصِدُ وَالْغَايَاتُ. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لَانَبِيَّ بَعْدَهُ. اللهم صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ المُجَاهِدِيْنَ الطَّاهِرِيْنَ. أَمَّا بَعْدُ، فَيَا آيُّهَا الحَاضِرُوْنَ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ، وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى 

  فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ:  الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

Jamaah shalat Jumat rahimakumullah,  

Ada pernyataan ilmiah bahwa bencana alam merupakan sebuah gejala alami biasa. Ia bisa ditelusuri sebab-sebabnya secara konkret sehingga gempa bumi, tsunami, banjir, wabah penyakit, atau bencana semacamnya dinyatakan resmi sebagai gejala alam. Namun, banyak pula ayat Al-Qur’an dan hadits yang menggambarkan bahwa bancana atau musibah menjadi salah satu cara Allah memberikan teguran maupun azab.

 

Allah SWT Ta’ala berfirman,

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ 

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syura: 30).

 

Jamaah shalat Jumat rahimakumullah,

Lantas bagaimana kita seharusnya bersikap? Sebelum lebih jauh kita berfikir tentang ini, seyogiannya kita menempatkan diri dulu secara proporsional. Dimana sikap yang harus diperuntukkan kepada orang lain dan dimana pula sikap yang harus diperuntukkan kepada diri sendiri. Kepada orang lain, kita tidak mempunyai wewenang untuk serta-merta memvonis bahwa mereka yang menjadi korban bencana atau terdampak musibah adalah orang-orang yang sedang kena teguran ataupun azab dari Allah. Karena mengeluarkan vonis semacam ini bisa jadi merupakan keangkuhan dari diri kita sendiri, karena kita tidak mempunyai bukti apa pun yang bisa menunjukkan bahwa bencana tersebut merupakan azab Allah.

 

Kita bisa mengetahui bencana yang telah menimpa kaum Nabi Nuh, misalnya, adalah termasuk sebuah azab itu karena ada dalil yang menerangkannya berupa ayat Al Qur’an. Sedangkan di zaman yang tak ada lagi rasul syar’i seperti sekarang ini, dimana ayat Al Qur’an tidak diturunkan lagi, maka kita dituntut mencari jawaban konkret atas bencana yang sedang terjadi melalui nash yang sudah ada. Sementara di ayat lain dijelaskan bahwa setiap orang beriman pasti akan diuji.

Allah. SWT berfirman:

أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوْا أَنْ يَقُوْلُوْا آَمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُوْنَ

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (begitu saja) mengatakan, ‘Kami telah beriman.’ sedang mereka tidak diuji lagi?” (Al-‘Ankabut, 2).

 

Jamaah shalat Jumat rahimakumullah,

Dari keterangan dua ayat di atas maka musibah yg menimpa seseorang atau bencana yang menimpa suatu kaum bisa dimungkinkan sebagai teguran atau azab, atau mungkin sebagai ujian atas keimanan sesorang ataupun kaum tertentu. Bahkan Rasulullah SAW memberikan kemungkinan ketiga yaitu bahwa kesedihan apapun yang menimpa orang Islam adalah sebagai penebus dosa-dosa, sebagaimana hadits berikut ini:

 

Rasulullah SAW bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:

مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاه

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah seorang muslim itu ditimpa musibah baik berupa rasa lelah, rasa sakit, rasa khawatir, rasa sedih, gangguan atau rasa gelisah, sampai duri yang melukainya melainkan dengan itu Allah akan mengampuni dosa-dosanya” (HR. Al-Bukhari, no. 5641 dan HR. Muslim, no. 2573).

 

Jamaah shalat Jumat rahimakumullah,

Lebih jauh, Rasulullah SAW memberikan gambaran bahwa seseorang atau suatu kaum yang tidak sama sekali ditimpai musibah atau bencana sedikitpun, padahal perbuatan mereka jelas-jelas menyimpang dari ketentuan ajaran syariat yang telah ditetapkan, itu ternyata merupakan bencana tak kasat mata yang bobotnya lebih berbahaya daripada bencana yang nyata. Bencana semacam ini dikenal dgn istidraj, suatu bencana yg harus diwaspadai. Kemungkinan keempat ini bisa terjadi kepada siapa saja yg tak jelas-jelas ditimpai musibah atau bencana apapun padahal Allah sedang murka kepada mereka.

Dalam hal ini, Rasulullah SAW bersabda:

عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ تَعَالى يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا مَا يُحِبُّ وَهُوَ مُقِيمٌ عَلَى مَعَاصِيهِ فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِنْهُ اسْتِدْرَاجٌ”، ثُمَّ تَلَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: [فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ] . (رواه أحمد)

Dari ‘Uqbah bin ‘Amir ra, Rasulullah saw bersabda: “Bila kamu melihat Allah memberi pada hamba (perkara) dunia yang diinginkannya, padahal dia terus berada dalam kemaksiatan kepada-Nya, maka (ketahuilah) bahwa hal itu adalah istidraj (jebakan berupa nikmat yang disegerakan) dari Allah.” Kemudian Rasulullah saw membaca ayat yang berbunyi, “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa (Qs Al-An’am: 44).” (HR. Ahmad)

 

Jamaah shalat Jumat rahimakumullah,

Dengan demikian maka sulit dipastikan apakah suatu musibah atau bencana benar-benar azab atau bukan. Jangan-jangan sejumlah korban meninggal dunia akibat musibah atau bencana alam itu wafat dalam kondisi lebih baik dan lebih terhormat dibandingkan diri kita karena dosa-dosa mereka sudah diampuni, atau kemungkinan lainnya. Dalam konteks seperti ini, yang paling tepat adalah mengembalikan status bencana kepada Allah , menganggap musibah yang terjadi pada orang lain sebagai pelajaran dalam muhasabah, mengedepankan koreksi diri daripada mengoreksi orang lain, cermat menilai sesuatu berdasarkan pertimbangan pemikiran yg sesuai nash alqur’ani atau hadits nabawi, dan senantiasa berupaya mengambil hikmah dari setiap kejadian demi mencapai kualitas keimanan dan ketaatan yang lebih baik, dalam rangka mencapai kategori al muttaqin di sisi Allah SWT.


Alhasil, semoga kita bisa menyikapi setiap musibah dan bencana yg terjadi secara proporsional dan penuh kearifan serta bisa menjadikannya jalan peningkatan derajat keimanan kita, khususnya rukun iman yg ke enam.  Aaamiiin.

أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ

   الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

Artinya: “(Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: ‘Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji'ûn’ (sesungguhnya kita semua milik Allah dan kepada Allah pula kita semua kembali).” (Al-Baqarah, 156).

   بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ الْأٰيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم

 

Share:

Monday, July 19, 2021

Khutbah Idul Adha - Tiga Pelajaran Utama Hari Raya Qurban

Kategori : Khutbah Idul Adha
Judul : Tiga Pelajaran Utama Hari Raya Qurban
Durasi : 7 + 3 menit
Khutbah I

اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ. كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً، لَاإِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ، صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ، لاَإِلهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَللهِ اْلحَمْدُ. الحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ خَلَقَ الزّمَانَ وَفَضَّلَ بَعْضَهُ عَلَى بَعْضٍ. فَخَصَّ بَعْضُ الشُّهُوْرِ وَالأَيَّامِ وَالَليَالِي بِمَزَايَا وَفَضَائِلَ يُعَظَّمُ فِيْهَا الأَجْرُ والحَسَنَاتُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى بِقَوْلِهِ وَفِعْلِهِ إِلَى الرَّشَادِ. اللّهُمَّ صَلّ وسّلِّمْ علَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمّدٍ وِعَلَى آلِه وأصْحَابِهِ هُدَاةِ الأَنَامِ في أَنْحَاءِ البِلاَدِ. أمَّا بعْدُ، فيَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللهَ تَعَالَى بِفِعْلِ الطَّاعَاتِ وَتَرْكِ السَّيِّئَاتِ. وَ قَدْ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ. فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ. إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ

Hadirin Jamaah Idul Adha yang dirahmati Allah,

Hari raya qurban atau yang biasa disebut Idul Adha merupakan hari raya ummat Islam. Di dalam rangkaiannya ada terdapat berbagai kesunnahan-kesunnahan yang patut kita perhitungkan; baik berupa puasa, shalat ied, menyembelih hewan qurban, dan amalan-amalan sunnah lainnya. Namun dalam khutbah singkat kali ini kita akan menyoroti Tiga Pelajaran Utama Hari Raya Qurban.

Hadirin Jamaah Idul Adha yang dirahmati Allah,
Sebenarnya, sejarah qurban sudah berlangsung sejak generasi pertama umat manusia, yakni praktik berqurban yang dilaksanakan putra Nabi Adam, Qabil dan Habil. Kemudian dikisahkankan bahwa qurban yang diterima adalah qurban dari Habil, bukan dari Qabil karena ketaatan Habil yg semata-mata mengharap ridho Allah. Namun demikian, syariat ibadah qurban bermula dari sejarah Nabi Ibrahim as. yang diperintah Allah untuk menyembelih anak kesayangannya, Ismail as., seorang anak yang ia idam-idamkan bertahun-tahun karena istrinya sekian lama mandul.

Hadirin Jamaah Idul Adha yang dirahmati Allah,
Atas kehendak Allah, praktek penyembelihan anak manusia itu batal dilaksanakan, karena sebenarnya Allah tidak menghendaki penyembelihan atas manusia apalagi Nabi Isma’il. Hal itu tiada lain hanyalah untuk menguji tingkat ketaatan Nabi Ibrahim as. terhadap Allah SWT., sebagaimana firman-Nya dalam ayat ini:

إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ. وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ. وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الْآَخِرِينَ. سَلَامٌ عَلَى إِبْرَاهِيمَ. كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ. إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُؤْمِنِينَ
Artinya:
“Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) ‘Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim’. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.” (Ash-Shaffat ayat 106-111)

Hadirin Jamaah Idul Adha yang dirahmati Allah,
Ibadah qurban yang sudah menjadi syariat bagi seluruh ummat Islam ini selain mengandung nilai ibadah sunnah, juga mengandung makna yang dapat dijadikan i’tibar atau pelajaran berarti. Pelajaran yang dapat kita ambil setidaknya ada tiga, yaitu sebagai berikut:

Pertama, Totalitas ketaatan kepada Allah SWT.
Lewat perintah untuk menyembelih Nabi Ismail, Allah seolah-olah hendak mengingatkan Nabi Ibrahim bahwa anak hanyalah titipan. Anak, betapapun berharganya dia, tak boleh melengahkan orang tua sehingga melalaikan perintah taat kepada Allah SWT. Karena sebenarnya Allah-lah tujuan akhir dari semua kebanggaan, kesenangan, dan apapun yang dianggap berharga di dunia ini.

Nabi Ibrahim lolos dari ujian ini. Ia membuktikan bahwa dirinya sanggup mengalahkan egonya untuk tujuan mempertahankan nilai-nilai ketaatan Ilahi. Nabi Ibrahim akhirnya mendapatkan julukan “khalilullah” (kekasih Allah) berkat ujian berat yang dilewati dengan cermat pada saat rasa bahagianya meluap-luap karena kehadiran sang buah hati di dalam rumah tangganya.

Sementara Nabi Ismail, meski usianya masih muda belia, ternyata mampu membuktikan dirinya sebagai anak berbakti karena patuh kepada perintah Tuhannya. Begitu pula Si Ibu, yakni Siti Hajar, ia mampu mengubur kecintaannya terhadap buah hatinya di atas dasar kesalehan dan kepatuhan demi memenuhi perintah Tuhannya. Itulah bukti ketaatan nyata yang perlu kita pelajari untuk diterapkan dalam kehidupan beragama demi menuju kualitas diri yang lebih baik.

Jamaah shalat Idul Adha rahimakumullah,
Pelajaran kedua, Allah memuliakan manusia.
Dari kisah tersebut, Allah mengingatkan manusia untuk tidak meremehkan nyawa dan darah manusia lainnya. Dan penebusan atau penggantian Nabi Ismail dengan domba besar adalah pesan nyata bahwa pengorbanan dalam bentuk sesembahan atau ritual dengan tumbal tubuh manusia, sebagaimana yang berlangsung dalam tradisi sejumlah kelompok pada zaman dahulu kala, adalah hal yang justru tidak memuliakan manusia.

Manusia dengan manusia lain sesungguhnya adalah saudara. Mereka dilahirkan dari satu bapak, yakni Nabi Adam ‘alaihissalâm. Seluruh manusia ibarat satu tubuh yang diciptakan Allah dalam kemuliaan. Karena itu membunuh atau menyakiti satu manusia ibarat membunuh atau menyakiti manusia secara keseluruhan. Larangan mengorbankan manusia sebetulnya merupakan penegasan tentang luhurnya kemanusiaan di mata Islam. Allah SWT berfirman:

مَنْ قَتَلَ نَفْسًاۢ بِغَيْرِ نَفْسٍ اَوْ فَسَادٍ فِى الْاَرْضِ فَكَاَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيْعًاۗ
Artinya:
Barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. (Al-Maidah, 32)

Pelajaran ketiga, Hakikat pengorbanan.
Daging hewan qurban yang kemudian disedekahkan kepada orang Islam lainnya merupakan simbol dari makna pengorbanan yang hakikatnya sangat luas, mencakup pengorbanan dalam wujud harta benda, tenaga, pikiran, waktu, dan lain sebagainya.

Pengorbanan merupakan perwujudan dari kesadaran idividual yang tak terlepas dari makhluk sosial. Manusia tidak akan mampu memenuhi kebutuhannya tanpa peran serta manusia lain. Dan kelangsungan hidup manusia akan berjalan harmonis hanya apabila interaksi sosial kemanusiaan ditegakkan dan solidaritas sesama dikedepankan. Di sinilah perlunya kita saling memberi, saling menghormati, dan saling menyayangi.

Adapun makna hakikat “menyembelih” adalah memutus urat ego kebinatangan kita, demi mencapai kedekatan (al-qurb) kepada Allah dalam rangka takwa dan mengharap keridhaan-Nya. Allah SWT berfirman:

لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ
Artinya:
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. (Al-Hajj: 37)

بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ الْآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم
Khutbah II

اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ. اَللهُ أَكْبَرُ
اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا

أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَالشَّدَائِدَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ الْفِتَنِ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ بُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ

Share:

Saturday, July 17, 2021

Maksud dan Hukum Amalan Do'a Dengan Simbol Isyarat

Inilah Maksud dan Hukum Amalan Do'a Dengan Simbol Isyarat, Kategori Amalan Keagamaan, Judul: Menelusuri Maksud Do'a Dengan Simbol Isyarat, tags: #doa #amalan #dalil #hukum #agama #doa_simbolik #media_doa

Maksud dan Hukum Amalan Do'a Dengan Simbol Isyarat

Kita sudah memaklumi bahwa doa adalah permohonan hamba kepada Allah. Doa merupakan ibadah yg diperintahkan langsung oleh Allah kepada seluruh umat Islam. Saking kuatnya perintah berdoa, maka orang yg sengaja tidak mau berdoa kepada Allah pantas disandangkan baginya gelar orang sombong.

Allah SWT berfirman dalam QS Al Mukmin ayat 60:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُوْنِيْٓ اَسْتَجِبْ لَكُمْ ۗاِنَّ الَّذِيْنَ يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِيْ سَيَدْخُلُوْنَ جَهَنَّمَ دَاخِرِيْنَ

Artinya:
Dan Tuhanmu berfirman, "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau menyembah-Ku mereka akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina." (Al Mu'min, 60)

Aisyah radhiallahu ‘anha berkata:

سَلُوا اللَّهَ كُلَّ شَيءٍ حَتَّى الشِّسعَ

“Mintalah kepada Allah bahkan meminta tali sendal sekalipun”.
(HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman 2/42)

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan:

وكان بعض السلف يسأل الله في صلاته كل حوائجه حتى ملح عجينه وعلف شاته

“Dahulu para salaf meminta kepada Allah dalam shalatnya, semua kebutuhannya sampai-sampai garam untuk adonannya dan tali kekang untuk kambingnya”.

Terkait dengan berdoa, ada pula doa secara simbolik atau yg disebut juga dgn ad-du’a' bil-isyaroh (doa dengan isyarat) atau istilah dari Al-Hafizh Ibn Hajar Al-‘Atsqalani dan Abu Al-Hasan Al-Mubarakfuri yaitu ad-du’a' bir-rumuz (berdoa dgn simbol).

Dan ternyata berdoa dgn cara ini memang ada landasan dasar amalan dalam Islam. Salah satu di antaranya adalah sebuah riwayat sahih dari Imam Al-Bukhari yg bersumber dari Abdullah Bin Zaid Al-Anshari berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ إِلَى الْمُصَلَّى يُصَلِّي وَأَنَّهُ لَمَّا دَعَا أَوْ أَرَادَ أَنْ يَدْعُوَ،اسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ وَحَوَّلَ رِدَاءَهُ

Artinya: Suatu kali, Nabi Saw keluar untuk melaksanakan salat (istisqa). Ketika beliau hendak berdoa (meminta hujan), beliau menghadap ke arah kiblat sambil memutar selendangnya. (H.R. Al-Bukhari).

Hadis tersebut mempunyai redaksi yang beragam namun memiliki kandungan yg sama. Intinya adalah bahwa maksud Nabi SAW ketika memutar bagian atas selendangnya ke arah bawah dan bagian bawah diputar ke arah atas, juga dgn selendang bagian kiri ke kanan dan bagian kanan ke kiri merupakan simbol atau isyarat agar keadaan berubah dari musim kemarau menjadi musim hujan.

Maksud lain dari perbuatan Nabi yg semacam itu adalah doa kepada Allah agar dikabulkan suatu permohonan, hanya saja cara berdoa beliau dengan menggunakan isyarat/simbol berupa membolak-balikan selendang.

Begitu juga dengan sebuah hadis sahih yg diriwayatkan oleh Imam Ahmad Bin Hambal, bersumber dari Khallad Bin As-Saib Al-Anshari berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلى الله عَليه وسَلم كَانَ إِذَاسَأَلَ جَعَلَ بَاطِنَ كَفَّيْهِ إِلَيْهِ، وَإِذَا اسْتَعَاذَ جَعَلَ ظَاهِرَهُمَا إِلَيْهِ

Artinya:
Nabi Muhammad SAW ketika berdoa meminta kebaikan, beliau berdoa dengan telapak tangannya. Namun jika berdoa supaya terhindar dari keburukan, beliau berdoa dengan punggung tangannya. (H.R. Ahmad ibn Hambal).

Sebagaimana hadis sebelumnya, hadis ini juga mengandung maksud berdoa dgn simbol/isyarat. Dalam hadis ini ditegaskan bahwa ketika berdoa meminta kebaikan, Nabi menggunakan telapak tangannya. Namun ketika berdoa meminta perlindungan dari keburukan beliau menggunakan punggung tangannya.

Ini menjelaskan bahwa mengangkat tangan sewaktu berdoa hanyalah sebatas simbol/isyarat semata, dgn tujuan memohon agar apa yg diinginkan di hati, diucapkan di lisan, juga disimbolkan oleh anggota tubuh. Tidak mustahil dengan simbol tersebut, doa yg dipanjatkan akan membangkitkan rasa khusyuk karena akan semakin dijiwai, dgn harapan lebih cepat diterima oleh Allah SWT. Inilah yg sering dipraktekkan aktor aktris di saat memerankan sandiwaranya. Haruskah para pendoa meninggalkan action ini?

Sedangkan dalil lain tentang berdoa pakai simbol isyarat adalah sebuah riwayat yg juga bersumber dari Imam Al-Bukhari di mana beliau menceritakan kisah Abu Hurairah yg mengadukan kelemahan hafalannya kepada Nabi SAW, lalu Nabi mendoakannya dgn perantara simbol sebagai berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَسْمَعُ مِنْكَ حَدِيثًا كَثِيرًا أَنْسَاهُ قَالَ ابْسُطْ رِدَاءَكَ فَبَسَطْتُهُ قَالَ فَغَرَفَ بِيَدَيْهِ ثُمَّ قَالَ ضُمَّهُ فَضَمَمْتُهُ فَمَا نَسِيتُ شَيْئًا بَعْدَهُ

Artinya:
Abu Hurairah bercerita, ”Saya berkata kepada Rasulullah: Wahai Rasulallah, saya sering mendengarkan hadits engkau, tapi sayang banyak yang saya lupa”. Lalu Rasulullah menjawab, “Bentangkan sorbanmu!”. Saya pun membentangkannya. Lalu Rasul menggulungnya dengan kedua tangan beliau. Kemudian beliau berkata lagi, “Kumpulkan!”, saya pun mengumpulkannya. Setelah peristiwa tersebut saya tidak pernah lupa (terhadap apa yang beliau sampaikan). (H.R. Al-Bukhari)

Abu Hurairah di hadapan Nabi SAW adalah sebagai sahabat sekaligus santri beliau. Ia sangat tekun menghadiri pengajian Nabi. Hampir tak ada waktu terlewatkan, kecuali ia mengikuti pengajian Nabi.

وقد قال رسول الله صلى الله عليه و سلم في حديث يحدثه ( إِنَّهُ لَنْ يَبْسُطَ أَحَدٌ ثَوْبَهُ حَتَّى أَقْضِيْ مَقَالَتِيْ هَذِهِ ثُمَّ يَجْمَعُ إِلَيْهِ ثَوْبَهُ إِلاَّ وَعَى مَا أَقُوْلُ ) . فبسطت نمرة علي حتى إذا قضى رسول الله صلى الله عليه و سلم مقالته جمعتها إلى صدري فما نسيت من مقالة رسول الله صلى الله عليه و سلم تلك من شيء (أخرجه البخاري في صحيحه)

Artinya:
“Rasulullah pernah menegaskan dalam suatu hadits yg beliau sabdakan, ‘Orang yang menggelar pakaiannya sampai aku selesai menyampaikan pengajianku ini kemudian ia ikat pakaiannya itu, pasti tidak akan lupa terhadap apa yang aku katakan.” Mendengar hal itu, Aku langsung menggelar selimutku sampai akhir pengajian Nabi. Ketika berakhir, aku pun segera melekatkannya di dadaku. Sejak itu, aku tak pernah lupa hadis Nabi sedikitpun.” (HR. Al-Bukhari).

Dalil lainnya tentang doa simbolik/isyarat sebagaimana berikut:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَبْرَيْنِ فَقَالَ إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنْ الْبَوْلِ وَأَمَّا الْآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ ثُمَّ أَخَذَ جَرِيدَةً رَطْبَةً فَشَقَّهَا نِصْفَيْنِ فَغَرَزَ فِي كُلِّ قَبْرٍ وَاحِدَةً قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ لِمَ فَعَلْتَ هَذَا قَالَ لَعَلَّهُ يُخَفِّفُ عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا

Artinya;
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati dua buah kuburan. Lalu Beliau bersabda,”Sungguh keduanya sedang disiksa. Mereka disiksa bukan karena perkara besar (dalam pandangan keduanya). Salah satu dari dua orang ini, (semasa hidupnya) tidak menjaga diri dari kencing. Sedangkan yang satunya lagi, dia keliling menebar namiimah.” Kemudian Beliau mengambil pelepah basah. Beliau belah menjadi dua, lalu Beliau tancapkan di atas masing-masing kubur satu potong. Para sahabat bertanya,”Wahai, Rasulullah. Mengapa Rasul melakukan ini?” Beliau menjawab,”Semoga mereka diringankan siksaannya, selama keduanya belum kering.”

Akan tetapi, perlu digarisbawahi juga bahwa tidak semua tradisi bisa dianggap sebagai doa simbolik. Sekurang-kurangnya ada dua syarat mutlak yg harus dipenuhi agar sebuah tradisi dapat dianggap sebagai doa simbolik;

Pertama, tradisi atau amal perbuatan tersebut mengandung maksud doa dan harapan kebaikan dari Allah SWT.

Kedua, tidak ada unsur-unsur yg bertentangan dgn kaidah-kaidah syariat agama Islam seperti menyekutukan Allah, meyakini bahwa ada benda atau media tertentu selain Allah, yg diyakini bisa mendatangkan manfaat atau menangkal mudharat, menyembelih dgn menyebut nama selain Allah, dan semacamnya. Selama kedua unsur tersebut terpenuhi, maka ia pantas dianggap sebagai doa simbolik atau isyarat.

Karena sejatinya, yang bisa memberi manfaat dan menghindarkan madharat hanyalah Allah saja, sebagaimana dalam firman-Nya berikut ini:

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلْ أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ أَرَادَنِيَ اللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ مُمْسِكَاتُ رَحْمَتِهِ قُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ

Artinya:
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Niscaya mereka menjawab: “Allah”. Katakanlah: “Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya?” Katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku”. Kepada-Nyalah bertawakkal orang-orang yang berserah diri”. [QS. az-Zumar, 39: 38]

Dengan demikian disimpulkan bahwa hukum berdoa menggunakan simbol benda tertentu adalah boleh sebagai media pedorong kekhusyu'an di dalam berdoa. Di samping itu media yg dipakai di dalam berdoa berperan sebagai penyelaras atau pengokoh antara ucapan (doa) dan tindakan (aksi). Adapun pembatas antara kebolehan dan kesyirikan bermuara pada pijakan keyakinan yg sangat jelas.

Dengan kata lain, berdoa menggunakan simbol2 ini dihukumi boleh dgn ketentuan di atas, selama meyakini simbol sebagai pengokoh doa. Dan syirik apabila meyakini simbol atau bahkan doa itu sendiri sebagai sekutu Allah yang mengabulkan suatu hajat. Semoga kita bisa membedakan dua keyakinan yg tampak jelas berbeda ini.

Demikian ulasan tentang maksud dan hukum doa simbolik atau berdoa menggunakan media tertentu berupa alat atau barang. Semoga tulisan ini dapat menjadi acuan pengambilan dalil hukum dalam pengamalannya di tengah masyarakat. Selanjutnya diharapkan dapat memberi keyakinan dalam ibadah, serta dapat menjadi jalan terkabulnya hajat dgn cepat berkat ittiba' dan pengamalan yg benar.
Share:

Thursday, July 15, 2021

Amalan Do'a Setelah Surah Al Ghaasyiyah


Ini Do'a Setelah Surah Al Ghasyiyah

sebagai amalan keagamaan yang perlu diterapkan di dalam ibadah, khususnya sholat.


Allah SWT berfirman dalam QS Al Ghaasyiyah : 24

فَيُعَذِّبُهُ اللّٰهُ الْعَذَابَ الْاَكْبَرَۗ

Allah SWT berfirman dalam QS Al Ghaasyiyah : 26

ثُمَّ اِنَّ عَلَيْنَا حِسَابَهُمْ 

Ketika imam membaca surah Al-Ghaasyiyah pada shalat jahriyah misalnya shalat Jumat, setelah bacaan ayat "Fayu'adzdzibuhullaahul 'adzaabal akbar" (ayat ke 24) dan diakhir surat tersebut (ayat ke 26) Surah Al Ghosyiyah, sebagian makmun segera menjawab dengan suatu bacaan. Sebenarnya apa yang mereka amalkan?


Dalam sebuah hadits sahih riwayat Ibnu Khuzaimah Nomor 684 dijelaskan bahwa "fa kaana la yamurru bi ayati takhwifin illa ista'adza wa la ayati rahmatin illa sa-ala wa laa aayati tanziihin illaa sabbaha" Artinya: "Rasulullah tidak pernah membaca ayat tentang siksa kecuali beliau meminta perlindungan darinya, tidak membaca ayat tentang rahmat kecuali memintanya, dan tidak membaca ayat yang mensucikan Allah kecuali membaca tasbih".


Hadits ini menunjukkan bahwa amalan membaca doa ketika imam membaca ayat tertentu yang berkaitan dengan siksa, nikmat atau yang lain, makmum boleh membaca doa tersebut. Sebab hadits di atas dilakukan oleh Rasulullah SAW ketika beliau shalat dengan membaca 200 ayat setiap rakaatnya.

Di dalam kitab Busyro al Karim juz I halaman 77 disebutkan:

ويسن سؤال الرحمة بنحو: "اللهم إغفر أو إرحم" عند قراءة أية رحمة, والإستعاذة بنحو: "اللم أعذنى من النار" عند قراءة آية عذاب, والتسبيح آية التسبيح, وعند آخر والتين, وآخر القيامة أن يقول:"بلى وإنا على ذلك من الشاهدين", وعند آخر المرسلات :"آمنا بالله", يفعل ذلك كله من الإمام والمنفرد لقراءة نفسه, والمأموم لقراءة إمامه أو نفسه حيث لم يسمع قراءة إمامه وغير المصلى لكل قراءة سمعها.

Dan disunahkan meminta rahmat dengan berucap semisal : “Ya Allah ampunilah, Ya Allah rahmatilah” ketika membaca ayat rahmat. Dan disunahkan meminta perlindungan dengan berucap semisal : “Ya Allah, selamatkanlah aku dari api neraka” ketika membaca ayat adzab, bertasbih ketika membaca ayat tasbih, dan ketika membaca akhir dari surat at-tin dan akhir surat al-Qiyamah agar membaca: (“Ya, dan kami atas hal itu termasuk para saksi,) dan pada akhir surat al-Mursalat agar membaca : (“Kami beriman kepada Allah”.)disunahkan agar melakukan hal tsbt masing-masing imam dan orang yang shalat sendiri karena mendengar bacaannya agar melakukan ssemua yang tersebut tadi, dan seorang makmum karena bacaan imamnya atau karena mendengar bacaannya sendiri apabila dia tidak mendengar bacaan imam, dan bagi orang yang tidak shalat apabila mendengar setiap bacaan yang ia dengar.


Doa yang dibaca setelah ayat "Fayu'addzibuhullahul adzabal akbar" (ayat 24) adalah:

اَللّٰهُمَّ أَعِذْنَا مِنْ عَذَابِكَ 

 “Allahumma a’idzna min ‘adzabika” 

(Ya Allah, lindungi kami dari siksaMu). 

Adapun doa yang dibaca di akhir Surah al-Ghasyiyah adalah:

رَبِّ حَاسِبْنِيْ حِسَابًا يَسِيْرًا

“Robbi haasibni hisaaban yasiro.." 

(Ya Allah ringankanlah hisab kami).


Dengan demikian membaca doa dalam shalat ketika Imam sedang membaca Al Quran adalah boleh bahkan dalam kitab Ibnu Katsir adalah dianjurkan mengamalkannya berdasarkan beberapa riwayat hadits. Begitu pula doa-doa yang terdapat dalam Yasin Fadhilah adalah rangkaian do'a yang sesuai hadits di atas, dan Yasin Fadhilah bukanlah menambah-nambahi ayat dalam Yasin, tetapi menyelipkan doa di dalam bacaan al quran. Demikian. Semoga bermanfaat.


Share:

Thursday, June 24, 2021

Khutbah Jum’at, Membiasakan Ibadah Tafakkur

Kategori: Khutbah Jum’at:

Judul: Membiasakan Ibadah Tafakkur

Durasi: 7 dan 5 menit



Khutbah I

 الحَمْدُ للهِ الّذِي لَهُ مَا فِي السمَاوَاتِ وَمَا فِي اْلأَرْضِ وَلَهُ الحَمْدُ فِي الآخرَة الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الْأَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا وهو الرّحِيم الغَفُوْر. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدنا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى بِقَوْلِهِ وَفِعْلِهِ إِلَى الرَّشَادِ. اَللَّهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَاِبهِ الهَادِيْنَ لِلصَّوَابِ وَعَلَى التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ اْلمَآبِ اَمَّا بَعْدُ، فَيَااَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، اِتَّقُوْااللهَ حَقَّ تُقَاتِه وَلاَتَمُوْتُنَّ اِلاَّوَأَنـْتُمْ مُسْلِمُوْنَ فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ:

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ، الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Jamaah shalat Shalat Jum’at hafizhakumullâh,

Kita bersyukur, karena Allah masih senantiasa memberikan kesempatan untuk berbuat amal baik berupa keampuan untuk melaksanakan shalat Jumat, khususnya hari ini. Kita bershalawat atas Rasulullah karena ajaran beliaulah yang menjadi lentera jalan keislaman ini. Selanjutnya,  marilah kita bertakwa kepada Allah dengan menjalankan perintah2Nya dan meninggalkan larangan2Nya.

Kita telah memaklumi, bahwa akal merupakan karunia terbesar yang Allah berikan kepada manusia sebagai cara untuk memuliakannya daripada semua makhluk hidup yang ada di muka bumi ini. Nyaris semua kemampuan fisik yang dimiliki manusia, juga dipunyai hewan; Bahkan hewan bisa lebih andal dalam hal-hal fisik. Hanya saja, sehebat apa pun kapasitas hewan, ia tetap tidak akan mampu menciptakan peradaban agung lantaran tak mempunyai akal sebagaimana dimiliki manusia.

Dengan demikian, pantaslah manusia (al-insân) selalu didefinisikan sebagai hayawân nâthiq, yakni hewan yang berpikir. Maka akal atau pikiran adalah kunci pembedanya. Hilangnya fungsi akal pada diri manusia akan menurunkan derajatnya selevel dengan hewan, atau bahkan lebih rendah.

 

Jamaah shalat Shalat Jum’at hafizhakumullâh,

Al-Qur’an telah menyebutkan bahwa kebanyakan ahli neraka adalah mereka yang tak mau menggunakan akal pikiran, mata, dan telinganya untuk merenungkan ayat-ayat Allah sebagai ibroh dan pembelajaran kehidupan. Akibatnya mereka pun tersesat di dalam mengarungi kehidupan. Allah SWT berfirman:

 أُوْلَئِكَ كَالأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُوْلَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ

“Mereka itu seperti hewan ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS al-A’raf: 179)

 

Jamaah shalat Shalat Jum’at hafizhakumullâh,

Peringatan utk berpikir, merenung, atau mendayagunakan akal tersebar banyak dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Semua itu menunjukkan betapa Islam sangat memperhatikan potensi akal manusia. Oleh karena itu, memikirkan atau merenungi ciptaan Allah dikategorikan sebagai ibadah, bahkan bisa lebih utama dibanding ibadah sunnah semalaman. Perintah tentang berpikir dan menghayati ciptaan Allah datang langsung dari Allah, termaktub dalam Al-Qur’an sebagai berikut:

 إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ، الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran, 190-191).


Dan keutamaan bagi orang yang berfikir tentang keagungan ciptaan-ciptaan Allah sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:

التَّفَكُّرُ سَاعَةً خَيْرٌ مِنْ قِيَامِ لَيْلَةٍ

Berfikir sesaat lebih baik dari pada shalat malam (al-Adzamah, juz 1/ hal. 297).

 

Jamaah shalat Shalat Jum’at hafizhakumullâh,

Anjuran berfikir tentang ciptaan Allah sangat luas tanpa batas. Namun utk mengerucutkan jangkauan khayal, kita tarik satu perumpamaan saja, misalnya berfikir tentang keagungan ciptan Allah berupa langit; Bagaimana langit diciptakan tanpa tiang, bagaimana perencanaan konstruksinya, berapa lama proses penciptaanya, berapa macam hiasan dan ornamennya, berapa banyak makhluk yang menghuninya, dan seterusnya.

 

Dengan membiasakan berfikir semacam itu maka akan tercetus suatu pengakuan dalam hati seraya berkata: "Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka jagalah kami dari siksa neraka.” Dengan itu maka semakin tampak keagungan Allah Yang Maha Perkasa, dan semakin nyata bahwa tiada satu pun yang perlu diagungkan selain-Nya.

 

Rasulullah juga bersabda:

تَفَكَّرُوْافِي خَلْقِ اللهِ، وَلاَ تَتَفَكَّرُوْا فِي اللهِ، فَإِنَّكُمْ لَنْ تَقْدِرُوْا قَدْرَهُ

“Berpikirlah tentang ciptaan Allah, dan jangan kalian memikirkan tentang Dzat Allah karena kalian pasti tak memiliki kesanggupan untuk itu.” (HR. Abu Syekh dari Ibnu ‘Abbas)

 

Jamaah shalat Shalat Jum’at hafizhakumullâh,

Dalam sehari semalam ada 24 jam, dan ada jam-jam tertentu yang dapat kita tentukan untuk se-saat berfikir. Di saat itulah kita kerahkan fikiran utk memilih jenis ciptaan Allah yang mana yang dianggap paling pas utk difikirkan sebagai perenungan. Semoga dengan ini kita terbiasa berfikir, digolongkan sebagai orang-orang yang menggunakan akal fikiran (ahli tafakkur), dan mendapat pahala ibadah yang sempurna sebagaimana yang diharapkan. Amin .

 

 بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم

 

Share:

Thursday, June 3, 2021

Kenapa Istri Harus Lebih Dimuliakan Dari Pada Bos?

Kenapa Istri Harus Lebih Dimuliakan Dari Pada Bos? Keterangan dari video berikut akan menjelaskan hukum serta dalil mengenai tugas kewajiban istri di dalam keluarga, masyarakat dan soal agama.  

Sosial masyarakat Istri Lebih Dimuliakan Dari Pada Bos


Inilah beberapa alasan atau dalilnya



Alasan lainnya:


Dalil lainnya:


Selamat menonton.

Semoga jadi penyebab semakin banyaknya istri solehah di muka bumi, mendatangkan kesejukan di hati masyarakat, memberikan ketentraman di dalam bersosial bermasyarakat. Aaamiiin. YRA.

Semoga bermanfaat.


Share: