Pro-Kontra Dalil Tentang Upah Bagi Da'i, Penceramah, dan Guru Agama, Kategori: Pendidikan Agama Sosial Kemasyarakatan, Judul Pro-Kontra Tentang Hukum Upah Bagi Da'i, Penceramah, dan Pengajar / Guru Agama, Tags yuqm: #pendidikan, keaagamaan, sosial, masyarakat
Bolehkah mengambil upah dari dakwah, Bolehkah mengambil upah dari mengajar agama, Bolehkah mengambil upah dari ruqyah ayat Alquran? Inilah pro kontra yg berkembang di masyarakat. Bagaimana jawabannya? Yuk kita telaah bersama!
Allah telah memerintahkan para da’i, penceramah, ustadz, muballigh dən siapa saja yg mendakwahkan ajaran agama islam agar berdakwah dg ikhlas yakni hanya mengharapkan ridho Allah SWT. Bukan berdakwah semata2 mengharapkan upah dari jamaat yg didakwahi.
Adapun dakwahnya para nabi dən rasul, mereka sama sekali tidak mengharapkan upah dari dakwah mereka, karna yg mereka harapkan hanya balasan dari Allah SWT, yaitu keridhoanNya.
Sebagaimana surat al-Mu’minuun [23] ayat 72:
أَمْ تَسْأَلُهُمْ خَرْجًا فَخَرَاجُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
Atau kamu meminta upah kepada mereka? Padahal upah dari Tuhanmu juah lebih baik, dən Dia adalah Pemberi rezeki yg Paling Baik.Allah berfirman tentang para rasul:
ألئك الذين هدى الله فبهداهم اقتده قل لا أسألكم عليه أجرا إن هو إلا ذكرى للعالمين
“Mereka itulah (para rasul) telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah(Muhammad) : Aku tidak meminta imbalan dari kalian dalam menyampaikan (al quran), al quran tidak lain hanyalah peringatan bagi seluruh alam”[1]Dən Allah berfirman tentang perkataan Nabi Nuh alaihissalam:
و ياقوم لا أسألكم عليه مالا إن أجري إلا على الله
“dən wahai kaumku, aku tidak meminta dari kalian harta sebagai imbalanku. Imbalanku hanyalah dari Allah semata”[2]dən Allah berfirman tentang perkataan Nabi Hud alaihissalam:
و ياقوم لا أسألكم عليه أجرا إن أجري إلا على الذي فطرني أفلا تعقلون
“dən wahai kaum ku, aku tidak meminta imbalan dari kalian atas dakwahku, ini. Imbalanku hanyalah dari Allah yg telah menciptakanku. Tidakkah kalian mengerti?”[3]Dən Allah berfirman tentang perkataan nabi Shalih alaihissalam:
و ما أسألكم عليه من أجر إن أجري إلا على رب العالمين
“dən aku tidak meminta imbalan kepadamu atas dakwah ini, imbalanku hanyalah dari Tuhan semesta alam”[4]Dən Allah berfirman tentang perkataan nabi Syu’aib a.s sama persis dg perkataan nabi Sholih alaihissalam:
و ما أسألكم عليه من أجر إن أجري إلا على رب العالمين
“dən aku tidak meminta imbalan kepadamu atas dakwah ini, imbalanku hanyalah dari Tuhan semesta alam”[5]Dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
اقرؤوا القران و لا تغلوا فيه و لا تجفوا عنه و لا تأكلوا به و لا تستكثروا به
“Bacalah Al qur’an, dən jangan terlalu berlebihan, jangan terlalu lalai, jangan memakan upah mengajar al quran dən jangan memperbanyak harta melalui mengajar al quran”[10]Lalu bagaimana dg seorang ustadz yg menjadi guru tetap? Banyak waktu dən tenaga guru tersebut tersita utk tugas mengajar dən kependidikan maka apa hukum mengambil upah dari pengajaran yg ia lakukan? Sedgkan waktu yg seharusnya dapat digunakan utk mencari nafkah dən rezeki dia dən keluarganya, berkurang karena beban dari lembaga tempat ia mengabdi.
Jika demikian keadaanya, maka para ulama membolehkan guru tersebut mengambil upah. dg syarat hanya utk mencukupi kebutuhan dia dən keluarganya namun tidak boleh memperbanyak harta dari pekerjan dakwahya itu.
Rasulullah sendiri pernah membolehkan mengambil upah dari bacaan Al quran.
Telah disebutkan dalam suatu riwayat, bahwa sekelompok sahabat singgah di suatu suku Arab yg saat itu pemimpin mereka tersengat binatang berbisa.
Mereka telah berusaha mengobatinya dg berbagai cara tapi tidak berhasil, lalu mereka meminta kepada para sahabat untuk meruqyah, kemudian salah seorang sahabat meruqyahnya dg surat Al-Fatihah, dən Allah menyembuhkan dən menyehatkannya.
Sebelumnya, para sahabat itu telah mensyaratkan pada mereka untuk dibayar dg daging domba. Maka setelah itu mereka pun memenuhinya.
Namun para sahabat tidak langsung membagikannya di antara mereka sebelum bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَاضْرِبُوا لِي مَعَكُمْ بِسَهْمٍ
“Berilah aku bagian bersama dari apa yg kalian terima.”[6]Rasulullah juga pernah bersabda dalam riwayat lain:
اِنَّ اَحَقَّ مَا أَخَذْتُم عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللهِ.
“Sesungguhnya suatu hal yg paling berhak untuk kalian ambil upahnya adalah Kitabullah.”[7]Dən Rasulullah bersabda:
زَوَّجْتُكَهَا عَلَى مَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ
“ Aku nikahkan engkau dgnya dg mahar apa yg engkau hafal dari Al-Qur`an.”[8]Disini dapat dipahami, bahwa upah mengajar Alqur’an adalah halal sehingga bisa dijadikan mahar layaknya emas, perak dən lain-lain.
Jika dikatakan, bahwa mengambil upah atau imbalan adalah menyelisihi dakwahnya para nabi, maka dalil tersebut tidak bisa dijadikan sebagai patokan satu2nya. Karena yg didakwahi para nabi dən Rasul dikala itu adalah orang2 kafir yg tidak mungkin mereka memberikan imbalan kepada Rasul sedikitpun, karena notabene mereka adalah musuh yg nyata.
Adapun jika dikatakan bahwasanya ini termasuk memperjual belikan ayat Allah dg harga yg murah sebagaimana firman Allah SWT:
و لا تشتروا بأيتي ثمنا قليلا
“dən janganlah engkau menukarkan ayat-ayatKu dg harga yg rendah”[9]Dalil ini pun tidak tepat, karena maksud ayat tersebut tertuju kpd seseorang yg terbebani kewajiban fardhu ain baginya untuk berdakwah, seperti bila seseorang berada di suatu kampung, yg penduduknya tidak ada yg mengerti tentang islam kecuali dirinya.
Dalam keadaan demikian maka haramlah meminta upah dari mereka. Karena dakwah dalam keadaan tersebut adalah fardhu ain baginya. Hal ini sama dg seseorang yg shalat, maka mana mungkin seseorang mengambil upah atau gaji atas shalatnya?.
Adapun jika mereka mendapat hadiah maka diperbolehkan bahkan disunnahkan.
Apa bedanya upah dg hadiah?
Upah adalah pemberian yg ditentukan sebelumnya sebagai syarat biaya atau imbalan mengajar.
Hadiah adalah pemberian yg diberikan cuma-cuma tanpa adanya syarat sebelum mengajar.
Dən hadiah disunnahkan sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam:
تهادوا تحابوا
"Hendaklah kalian saling memeberikan hadiah, maka kalian akan saling mencintai"[11]Bagaimana pandangan Ulama tentang Upah Dakwah dan Mengajar?
Inilah pro kontra ilmiyah syar'iyah-nya.!
Sejak awal kemunculannya, agama ini sudah sangat menjunjungi tinggi nilai2 ilmu, lebih2 ilmu agama. Tidak ada yg meragukan bahwa agama Islam sangat memotivasi umatnya untuk terus menuntut ilmu, lalu mengajarkannya kepada generasi selanjutnya.
Adənya proses belajar mengajar yg memang tumbuh sejak awal Islam, membuat ulama membicarakan upah itu, karena bagaimanapun seorang guru juga butuh materi guna menutupi kebutuhan sehari-harinya.
Jadi perkara mengambil upah atas dakwah atau mengajar ilmu agama bukanlah suatu yg baru dalam literatur kitab ulama muslim, terlebih lagi ulama Fiqih. Ya. Para Fuqoha’ telah lama membahas tentang ini.
Ulama terdahulu bersepakat atas kebolehan mengambil jatah dari baitul-maal (bank harta muslimin) sebagai upah atas pengajaran Al-Qur’an, pengajaran ilmu syariah, seperti hadits, tafsir, fiqih dən yg lainnya.
Upah yg diambil dari baitul-maal itu sejatinya bukan pembayaran atas ilmu tersebut, melainkan sebagai bentuk asas tolong-menolong dalam ketaatan (ibadah), dən itu tidak merubah nilai ibadah pengajaran tersebut.[1]
Ulama juga sependapat bahwa mengambil upah atas pengajaran ilmu-ilmu umum seperti kedokteran, matematika, geografi, kimia dən lainnya itu boleh diambilkan (dialokasikan) dari baitul-maal. Kesepakatan ini merata di kalangan para ulama.
Akan tetapi mengenai seorang guru yg mengambil upah mengajar dari si penuntut ilmu (murid/siswa) itu sendiri maka para ulama berbeda pendapat dalam hal ini apakah boleh atau tidak!
Dalam hal ini, ulama terpecah menjadi beberapa kelompok padəngan (madzhab);
1. Ulama-ulama klasik dari kalangan madzhab Hanafi berpendapat bahwa mengambil upah dari murid atas pengajaran Al-Quran dən ilmu lainnya tidak diperbolehkan.[2]
Ini juga menjadi pendapat yg masyhur di kalangan Hanabilah.[3]
2. Madzhab Maliki berpendapat bahwa mengambil upah atas pengajaran Al-Quran dibolehkan. Akan tetapi untuk ilmu selain Al-Quran hukumnya makruh.[4]
3. Madzhab Syafi’i membolehkan mengambil upah dari pengajaran Al-Qur’an. Tapi untuk ilmu lain, madzhab ini tidak membolehkan kecuali memang jika si pengajar sudah ditentukan dən materi yg akan diajarkan juga sudah ditetapkan sebelumnya.[5]
4. Madzhab Zohiri berpandəngan bahwa boleh mengambil upah atas pengajaran Al-Quran dən juga ilmu lainnya.[6]
Pendapat ini juga dipegang oleh ulama komtemporer dari kalangan madzhab Hanafi[7], dən juga salah satu riwayat Imam Ahmad bin Hanbal dari Abu Al-Khatthab Al-Hanbali.[8]
Itulah beberapa pandəngan ulama tentang upah atas pengajaran Al-Quran dən ilmu lainnya.
Apakah dalil dari masing-masing kelompok madzhab tersebut?
Baikllah, berikut ini dalil yg dimaksud, berdasarkan kelompok pendapat.
A. Dalil Kelompok yg Mengharamkan Pengambilan Upah
1. Sabda Nabi shallallahu alaih wa sallam yg dirwayat Imam Ahmad dalam Musnadnya bahwa beliau shallahu alaih wa sallam melarang mengambil upah dari Al-Qur’an:
اقْرَءُوا الْقُرْآنَ وَلَا تَأْكُلُوا بِهِ وَلَا تَسْتَكْثِرُوا بِهِ
“Bacalah Al-Quran dən janganlah kalian makan dari itu, dən jangan juga kalian memperbanyak kekayaaan dari itu,…..” (HR Imam Ahmad dən Imam Al-Baihaqi dalam Syuabul-Iman)
2. Dalam sunan Ibnu Majah, beliau meriwayatkan:
عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ عَلَّمْتُ رَجُلًا الْقُرْآنَ فَأَهْدَى إِلَيَّ قَوْسًا فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنْ أَخَذْتَهَا أَخَذْتَ قَوْسًا مِنْ نَارٍ فَرَدَدْتُهَا
Sahabat Ubai bin Kaab pernah berkata: “Aku pernah mengajarkan Quran kepada seseorang, kemudian aku diberikan sebuah busur (panah). Lalu aku kabarkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaih wa sallam, lali beliau berkata: ‘jika kau mengambilnya, itu berarti kau telah mengambil sebuah busur dari neraka’, lalu aku kembalikan busur itu” (HR. Ibnu Majah)[9]3. Ulama klasik Hanafiyah berpandəngan bahwa pengajaran Al-Quran serta ilmu yg terkandung di dalamnya merupakan sebuah Qurbah (ketaatan) yg tentunya berbuah pahala dari Allah Ta’ala. Karena ini sebuah ibadah maka tidak perlu adənya imbalan, sama seperti sholat atau puasa.[10]
4. Nabi Muhammad shallallahu alaih wa sallam adalah muballigh ulung, master dari semua muballgih / dai yg ada di dunia ini, dən beliau shallallahu alaih wa sallam tidak mengambil upah sama sekali dalam dakwahnya. Maka seorang dai juga tidak boleh mengambil upah atas dakwahnya sebagaimana Nabi shallallahu alaih wa sallam dulu tidak mengambil upah.
5. Mengambil tariff atau upah dari sebuah dakwah atau juga pengajaran Al-Quran dən ilmu lainnya justru membuat orang enggan untuk belajar, karena besarnya biaya yg harus dibayar.
Allah Ta’ala telah mengisyaratkan kita tentang hal ini dalam ayatNya:
أَمْ تَسْأَلُهُمْ أَجْرًا فَهُمْ مِنْ مَغْرَمٍ مُثْقَلُونَ
“Apakah kamu meminta upah kepada mereka, lalu mereka diberati dg hutang?” (Al-Qolam 46)Akhirnya prkatek pengambilan upah tersebut justru menjadi penghalang orang lain untuk melakukan sebuah ketaatan; menuntut ilmu. Menghentikan seseorang untuk beribadah tentu hal yg sangat dilarang dalam syariah ini.[11]
B. Dalil Kelompok yg Membolehkan Menerima Upah
Ini adalah pendapat yg dianut oleh Jumhur ulama dari 4 madzhab Fiqih, termasuk di dalamnya madzhab Zohiri dən juga ulama kontemporer dari kalangan Madzhab Hanafi yg menyelisih pendapat pendahulu mereka dalam madzhabnya.
1. Dalam hadits yg diriwayatkan oleh Abu Daud, dari sahabat Sahl bin Sa’d Al-Sa’idiy diceritakan bahwa Nabi shallallahu alaih wa sallam pernah menikahkan salah seorang sahabat dg mahar hapalan Quran yg ia miliki untuk diajarkan kepada istrinya;
قَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ
“Aku telah nikahkah kau dən dia dg (mahar) apa yg kau hapal dari Qur’an”(HR Abu Daud)Haditsnya jelas, kalau saja hapalan dən pengajaran Al-Quran punya nilai sehingga bisa menjadi mahar nikah, maka mengajarkannya atau apa yg dikandung di dalamnya juga punya nilai. dən si pengajar berhak mendapat imbalan atau upah.
2. Sabda Nabi Muhammad shallallahu alaih wa sallam:
إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ
“Sesungguhnya, yg paling layak untuk kalian ambil imbalan (ongkos) ialah Kitabullah” (HR Bukhari)Hadits diatas dg sangat jelas mengisyaratkan kebolehan mengambil upah atas pengajaran Al-Quran. Kalau dari Al-Quran saja seseorang dibolehkan mengambil imbalan atas itu, maka juga diperbolehkan mengambil imbalan dari apa yg dikandung oleh Al-Quran itu sendiri. dən ilmu pengetahuan serta sains yg mnejadi kekayaan intelektual itu bersumber dari Al-Quran, maka sah-sah saja mengambil manfaat berupa imbalan materi dari itu.
3. Ulama bersepakat atas kebolehan mengambil jatah dari baitul-maal sebagai upah atas pengajaran Al-Qur’an, atau juga pengajaran ilmu syariah lainnya seperti hadits, tafsir, fiqih dən yg lainnya. Upah yg diambil dari baitul-maal itu sejatinya bukan pembayaran atas ilmu tersebut, melainkan sebagai bentuk tolong menolong dalam ketaatan (ibadah), dən itu tidak merubah nilai ibadah pengajaran tersebut.[12]
dən apa yg dilakukan oleh seorang guru atau ustadz dalam mengajar ialah sebuah ketaatan dalam beribadah. dən imbalan yg diterima sebagai bentuk saling tolong menolong dalam beribadah dari sang pembelajar kepada pengajarnya.
4. Kebutuhan yg menuntut. Seperti halnya kebolehan ulama atas memberikan upah kepada orang yg menghajikannya karena lemah fisik sehingga tidak mungkin baginya menunaikan haji kecuali dg menyewa orang dən memberinya imbalan. dən tidak mungkin menemukan orang yg berkenan untuk menunaikan haji tanpa imbalan. Begitu juga ibadah yg lain, termasuk pengajaran Al-Quran atau ilmu lainnya.
5. Istihsan. Ini yg dipegang oleh para ulama kontemporer madzhab Hanafi. Mereka khawatir dg keadaan dimana para penghafal Al-Quran dən pengajar ilmu agama semakin lama semakin berkurang dən justru menghilang. Mereka bukan lagi disibukkan dg mengajar ilmu agama, akan tetapi mereka sibuk mencari nafkah untuk menutupi kebutuhan hidup mereka sehari-hari, karena memang mereka tidak mendapatkan upah dən imbalan atas apa yg mereka usahakan dari mengajar itu.
Khawatir akan hilangnya Quran karena tidak ada yg mengajar maupun yg diajar, juga guna membangun kembali semangat keilmuan dən membangun peradaban yg lebih baik, ulama Hanafi merubah pandəngan mereka yg awalnya melarang mengambil upah menjadi membolehkan pengambilan upah dən imbalan dalam mengajar Al-Quran atau ilmu yg lain. Ini dilakukan agar tercipta keseimbangan dalam membangun umat, yg mengajar terpenuhi kebutuhannya dən umatpun mendapat manfaat atas ilmu yg diberikan oleh sang guru atau ustadz.
Perubahan fatwa dən pandangan madzhab yg mereka lakukan karena memang keadaan zaman yg berubah. dən itu biasa dalam masalah fiqih.[13]
Setelah menguraikan dalil-dalil mereka atas kebolehan mengambil upah untuk pengajaran Al-Quran atau juga ilmu lainnya dalam berdakwah, kelompok ini juga memberikan bantahannya atas beberapa dalil yg dipakai oleh kelompok yg melarang.
Imam Al-Syaukani mengatakan dalam kitabnya Nailul-Author, bahwa hadits Ubai bin Ka"ab yg melarang mengambil upah tidak bisa dijadikan hujjah karena statusnya yg dhoif / lemah. Tarlebih lagi ada hadits shohih yg menyelisihinya.
Kemudian kalaupun itu sanadnya bagus, hadits itu muhtamal (mengandung banyak kemungkinan). Mungkin saja itu adalah Waqo’i A’yan (kejadian personal yg khusus) untuk Ubai bin Kaab dən Ubadah bin Shomit (dalam riwayat lain) yg tidak bisa digeneralisir untuk orang lain. Karena maknanya yg bertentangan dg hadits shohih itu (dalil kebolehan no. 2).[14]
Pandəngan Madzhab Maliki
Madzhab ini –seperti yg telah diurai sebelumnya- bersama jumhur dalam hal kebolehan mengambil upah untuk pengajaran Al-Quran. Akan tetapi jika ilmu lain, hukumnya menjadi makruh. Dalil mereka:
- Al-Nafrawi, salah satu ulama madzhab Maliki mengatakan:
وفرق أهل المذهب بين جوازها على القرآن وكراهتها على تعليم غيره، بأن القرآن كله حق لا شك فيه، بخلاف ما عداه مما هو ثابت بالاجتهاد فإن فيه الحق والباطل
“Madzhab ini membedakan antara hukum mengambil upah dalam pengajaran Quran dən selain Quran. Itu karena Al-Quran semua isinya ialah haq (kebenaran) dən tidak ada lagi keraguan. Berbeda dg ilmu lainnya yg dibangun dg ijtihad manusia, yg di dalamnya bisa saja terdapat kebenaran dən juga kesalahan”[15]
- Mengajarkan ilmu agama adalah sebuah kewajiban, karena itu kewajiban maka mengambil upah atas sebuah kewajiban justru membatalkan nilai kewajiban itu, karena tidak ada imbalan untuk sebuah kewajiban. Sedəngkan Al-Quran sudah ada hadits yg membolehkan mengambil upah dari itu.
- Mengambil upah atas pengajaran suatu ilmu justru akan berujung pada keengganan umat untuk mempelajari ilmu agamanya sendiri karena mahal biaya yg harus dikeluarkan.[16]
Pandəngan Madzhab Syafi’i
Madzhab Syafi’i membolehkan mengambil upah untuk pengajaran Al-Qur’an. Tapi untuk ilmu lain, madzhab ini tidak membolehkan kecuali memang jika si pengajar sudah ditentukan dən materi yg akan diajarkan juga sudah ditetapkan sebelumnya.
Mereka berpandəngan bahwa mempelajari suatu bidəng ilmu itu hukumnya Fardhu kifayah, yaitu kewajiban yg jika salah seorang mengerjakan maka gugur kewajibannya untuk yg lain. Karena itu Fardhu Kifayah, maka mengajarkannya pun mempunyai hukum yg sama
Karena ini sebuah kewajiban yg dibebankan untuk semuanya, maka tidak perlu adənya pengambilan upah dalam hal ini. Kalau ada upah, maka hilang nilai kewajibannya. Berbeda jika halnya si pengajar sudah ditetapkan kepada si ustadz Fulan untuk mengajatkan materi ilmu tertentu. Maka akad yg terjadi menjadi akad Ijaroh yg dibolehkan mengambil upah di dalamnya.[17]
Dari uraian masing-masing kelompok atas apa yg mereka pegang dalam hal kebolehan atau tidaknya mengambil upah dalam mengajarkan Al-Quran atau juga ilmu lain, bsa ditarik kesimpulan bahwa keduanya mempunyai tujuan mulia, yaitu memotivasi agar umat tetap dekat dg ilmu.
Agar ilmu bisa didapat dan kemudian berbuah kemajuan peradaban serta intelektualitas umat Islam, sekelompok ulama mengharamkan pengambilan upah atas sebuah pengajaran. Karena itu sama saja dg menahan ilmu dən menyembunyikannya sehingga orang lain sulit untuk mengaksesnya.
Akan tetapi di sisi lain ada kesejahteraan para guru dən ulama yg seakan terabaikan dg tidak adənya imbalan yg mereka dapat. Bagaimanapun mereka juga punya keluarga yg kebutuhannya harus terpenuhi.
Kalau mereka dibiarkan begitu saja, jangan salahkan nantinya para generasi selanjutnya tidak bisa mengakses ilmu, terlebih lagi ilmu syariah karena para ulama sibuk dg urusan dapur mereka masing-masing, bukan dg mengajar. dən itu disebabkan karena mereka tidak mendapatkan upah apa-apa dari ilmu yg mereka ajarkan.
dən kejadian seperti itu bukan sekedar isapan jempol belaka. Kita sudah melihat dg mata kepala kita sendiri bagaimana seorang ulama yg terpinggirkan dən meninggalkan aktifitasnya sebagai ulama yg mengajarkan ilmu agama karena kebutuhan yg mendesaknya untuk meninggalkan dunia keilmuan.
Masing-masing harus tahu diri dən sadar. Para penuntut ilmu yg diajar juga harus sadar bahwa guru dən ustadz mereka punya kebutuhan dunia yg harus terpenuhi. Pun sang ustadz juga sadar diri untuk tidak menjadikan dakwah layaknya bisnis properti dg ekspektasi keuntungan berlimpah jika dapat panggilan.
Jangan akhirnya malah melupakan niat awal dakwah, yaitu pertanggungjawaban atas ilmu yg didapat untuk diamalkan dən diajarkan kepada mereka yg tidak mengetahui. Ulama punya kewajiban mencerdaskan umat, bukan memeras umat. Baiknya sang guru atau ustadz tidak menentukan bayarannya, tapi jika diberikan tak perlu menolak.
Jangan pula memasang tariff tinggi sehingga orang yg ingin berguru menjadi antipasti akhirnya. Nabi shallallahu alaih wa sallam bersabda:
مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ أَلْجَمَهُ اللَّهُ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa yg ditanya mengenai suatu ilmu lalu ia menyembunyikannya, niscaya ia akan dipecut oleh Allah swt di hari kiamat nanti dg tali pecut dari neraka” (HR Abu Daud, Turmudzi dən Ibnu Majah)"dən tidak ada proses penyembunyian ilmu yg paling memprihatinkan kecuali dg menetapkan harga dakwah setinggi langit."
Sumber Referensi 1:
[1] QS Al An’am : 90
[2] QS Huud: 29
[3] QS Hud: 51
[4] QS Asy- syuara’: 164
[5] QS Asy-syuara: 180
[6] HR Bukhari
[7] HR Bukhari
[8] HR Bukhari Muslim
[9] HR Al Baqarah: 41
[10] Hadits Shahih Riwayat Ahmad
[11] HR Baihaqi
Sumber Referensi 2:
[1] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah 22/202
[2] Al-Bahru Al-Roiq 8/22, Al-Asybah wa Al-Nazoir 1/53, Tabyiin Al-Haqoiq 5/124, Bada’i Al-Shona’i 4/191
[3] Al-Syarhu Al-Kabir 6/63, Al-Mughni 6/143
[4] Al-Dzakhiroh 4/501, Syarh Mukhtasho Kholil 7/19
[5] Asal Tulisan: Muhammad Abdurrahman Al Amiry - alamiry.net (Kajian Al Amiry)
Salam Ukhuwah. Tetap Semangat Berbagi Manfaat. Masyarakat damai. Sosial sejahtera.
0 comments:
Post a Comment